“Ayolah mi, bolehlaah… “terawang mata mommy seraya melepaskan anak 3 anak panah pasopati di jantung Sytsh. Mata berwarna coklat dan raut halus yang memelas tapi sedikit memaksa perlahan melepaskan tensinya. Setelah sejurus saling beradu mata untuk mencari sudut jawab dalam makna raut momminya, sytsh menundukan laras pandangnya kearah baju mamihnya yang seperti biasa tanda menyerah kalah lalu memilih menenggelamkan fokusnya pada gamis mommy yang berbunga-bunga kecil seperti biasa. Sampai pada titik jenuh, sytsh mengambil nafas panjang dan menghela sebagai tanda mengakhiri pemohonan sedikit memaksanya akan satu hal: membawa uang saku. Langkahnya gontai membawa luka harapan terputus infinitif. Roti ini tak membawa senyumnya.
Bukan dia tidak memiliki pundi
sepeserpun. Hanya saja ketegasan mommy yang menyatakan tidak boleh membawa uang
saku sekalipun uang sendiri selain hari sabtu sepertinya tidak dapat
tergoyahkan. Pernah secara tidak terang dia menyembunyikan uangnya sendiri agar
dia dapat membeli jajanan khas sekolah, akan tetapi malah ketahuan dan dia
mendapatkan imbalan yang setimpal. Sytsh sendiri tak mau mencoba mengingat
kembali berapa lama dia tidak diperbolehkan jajan. Padahal biasanya setiap
sabtu-ahad dia selalu bisa membelanjakan snack
kesukaan dengan jumlah yang besar yakni Rp10.000. Tapi Roti itu memudarkan senyumannya.
Kali ini Sytsh tak dapat melihat cela
kesempatan untuk dapat sedikit melanggar peraturan tersebut dalam mata bening
mommy-nya. Terlalu serem untuk dibayangkan. Laras matanya terpaksa rela menatap saat mommy memasukkan sekotak bekal berwarna biru, botol
minum dan sekotak susu kemasan kedalam tas sekolahnya. Sekali lagi tak ada minat
untuk membuka kotak itu. Tak juga berencana untuk membukanya ketika sampai di
sekolah nanti. Self existensinya terluka oleh kotak bekal yang imut itu. Sekali
lagi taka da minat untuk membuka kotak itu. Roti itu hanya seperti garam yang menambah perih luka ego eksistensinya dan membuatnya enggan tersenyum.
Bell favorit sytsh bordering. Seluruh
siswa kelas satu menyeruak berhmaburan keluar kelas. Aroma kelegaan memenuhi
atmosfir SD Sempu pagi itu. Ya, bel
istirahat. Akhir –akhir ini selama istirahat, Sytsh sangat tertarik terhadap
buku-buku yang tersusun rapi di perpustakaan sederhana berukuran 3x3 meter di
sekolah tersebut. Beberapa masa dia menjemput buku-buku yang menarik hatinya
pulang ke sekolah. Rasa antusias membaca dan membahas isinya sambil di pangku
Mommy selalu ingin diulangnya kembali. Rasa yang sama seperti saat menikmati es
krim di musim kemarau. Tapi roti tetap hanya di tatapnya tanpa tersenyum.
Sebelum sampai di perpustakaan, sytsh menengok tempat pesolatan kecil tempat biasa dia dan pak Irfan, guru Bahasa inggrisnya untuk sholat duha
bersama. Tak banyak yang dia paham tentang keutamaan sholat duha.
Tapi dia hapal kedua surat istimewa itu dan sedikit doa-doanya. Dia suka sholat
bersama Pak Irfan dan kakak kelas. Dan Roti tersebut menyelinap keluar dari ruang pikirnya karena belum mampu membuatnya tersenyum.
Usai sholat bersama, masih ada waktu 15 menit untuk masuk ke perpuastakaan. Dia telah mempersiapkan catatan mengenai buku apa saja yang dia akan pinjam. Se referensif itu. Namun sejurus kemudian urunglah niatnya melangkah kan ke daun pintu ruang buku berwarna tersebut karena terasa olehnya rasa yang tidak benar dalam perutnya. Dia lapar. Dia sangat mengenali rasa ini. Menyempatkan diri mengingat memori semalam, barulah teringat olehnya bahwa malam itu dia belum menyantap makan malam buatan mommy. Setengah hatinya menyesal karena melewatkan makan malam. Entah karena apa. Dia berharap itu adalah hal yang penting.Pandangannya selanjutnya tertuju pada tas sekolahnya. Dia ingat bekal yang di bawakan mommynya. Perut dan hatinya langsung terhibur. Selanjutnya adalah unboxing yang di bawa oleh mommy. Kali ini roti ini memiliki peluang untuk membuatnya tersenyum.
Hidup seolah bak bersandiwara di atas panggung teater yang
terbakar. Kebutuhan eksistensinya yang terkoyak oleh bekal roti membawanya sementara pada kelemahan kepercayaan dirinya menghadapi bekal roti yang masih tersimpan rapi di dalam tas di dalam ruang kelas. Secara diam-diam dia masuk ke dalam kelas yang dia pastikan sepi dan membuka
diam-diam bekal yang di bawakan mami. Ternyata roti isi saos bolognise dan
mayonise. Tanpa pikir panjang dia melahap sepotong roti isi non-berisi tersebut. Walau
tidak ada sosis di dalamnya, serangan rasa lapar membuat makanan sederhana itu
tidak kehilangan pesonanya. Sebelum potongan terakhir, tanpa disadari kedua
temannya telah mengintip nya. Rasa malu menguasai dirinya hingga tanpa disadari
membuatnya memalingkan diri. Tapi temannya tak dapat menerima reflex tersebut.
“bagi lah…” kode wajah memelas yang tidak tertolak. Akhirnya sampai pula roti
isi tersebut di tangan teman tidak dekatnya. Tak disangka wajah sumringah
temannya melihat potongan roti tersebut, wajah terheran-herannya melihat
kekaguman temannya atas rasa baru membuat sytsh merindukan mommy nya. Setelah
menyantap potongan pertamanya, temannya baru menyadari bahwa roti tersebut
terasa begitu nikmat. Proses belajar di kelas terasa begitu lama bagi sytsh
kali ini . Rasa rindu pada mommynya semakin dalam. Rasanya campur aduk. Bahagia
karena ternyata temannya iri bahwa mommy nya membawakan bekal. Dia ingat benar
temannya bilang “enak ya kamu, ummimu mbawakan bekal. Aku juga pengen di
bawakan bekal bundaku” . menyesal karena selama ini menyia-nyiakan bekal yang
di bawakan mommy. Rela melihat wajah mommy melepaskan hormone kortisol dalam
rangka menahan rasa kecewa nya setiap kali membuka kotak bekal yang tidak
dimakan. Ingin minta maaf pada mami dan mengucapkan salam terindah bernama
terima kasih. Kali ini setulus-tulusnya.
Wajah yang biasanya tertutup mendung
karena malu membawa bekal ke sekolah menjadi cerah secerah pagi hari di musim
semi. Tak kesah seberapa telat mommy menjemputnya. Segeralah ia menaiki kuda
besi tersebut dengan penuh semangat. Dopamine yang mengudara membawa
pesan-pesan kimiawi bahagia segera dikenali oleh mommy walau dalam jarak
sejengkal. “sekolahnya senang hari ini,
Nak? ” selidik mommy. “senang mi..seneng
banget”. Tanpa berbicara banyak, tak seperti biasanya dia memeluk mami dan
menmbenamkan wajahnya di dalam kerudung mami yang berkibar tertiup angin. Mommy
tidak pernah memakai pengharum apapun. Tapi hari ini harum cinta mommy sangat
terasa di hati sytsh. Hangat yang melelehkan dan menguatkan hati sytsh yang
lemah karena gengsi. Usai mengganti
seragam dan mencuci tangan. Mommy segera meghangatkan lauk kesukaannya: Ikan goreng krispi. Sejenis alat pemancing
cerita yang sering Mommy pakai agar anak anaknya membuka diri mereka. Bermenit setelah mencium aroma fishy yang menggugah selera, dia segera menyambut nasi hangat dan
ikan krispi mommy di meja makan. Seraya nyuguhkan air putih, mommy mencoba
mendekatinya. “Ada yang bikin senang kah di sekolah?” tanya mommy penuh selidik.
Sytsh mengangguk dengan menyipitkan
sudut matanya. Hatinya ingin menceritakan semua pada mommy. Apalah daya perutnya tak mampu memberinya
maaf. Setelah suapan terakhir dan beningnya air putih menyapu lantas semua sisa
makanan dalam mulutnya. Dengan antusias ia mendeskripsikan bagaimana waktu
sekolah berlalu hari ini dan bagaimana temannya terpukau oleh roti isi buatan
mommy nya. “Mi, maaf ya. Bekalnya kemarin-kemrin ngga aku makan karena aku
malu, temanku tidak membawa bekal sama sekali. Kebanyakan membawa uang jajan.
Tapi aku sekarang teman-teman juga mau sama bekalku juga. besok bawa lagi ya mi, roti isinya. ”. senyum mommy penuh syuur mambawa butir-butir
imu yang segera meghujani sytsh dan adiknya. "Belum pernah aku
berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwaku sendiri, yang
terkadang membantuku, dan terkadang menentang ku." (al-Ghazali). Sytsh menyeruak.
“Kata-kata siapa itu mi?” mommy berlalu ke dapur mencuci sisa piring yang
kotor. Sambil tersenyum lembut mami menjawab, “al-Ghazali”.
Selanjutnya Sang pembawa bekal tak lagi
tersembunyi . hingga di saat olah raga tiba, sempatlah ia menjadi pahlawan yang
membawa roti isi bagi dirinya dan teman-temannya. Existence lies before essence (Jean Paul). Aku pernah mendengar berita
tentang ujung bumi bagian selatan yang terselimuti oleh air beku yang berwarna
putih. Membayangkannya di terangi matahari yang hangat dan sedikit membuat
lampiran-lampiran tanahnya berwarna kuning keemasan. Membawa harapan bagi para
penghuni igloo untuk merasakan indah dan hangatnya sensasi musim semi. Ditemani
makanan hangat yang menyapa kehampaan lambung mereka. Se-simple itu harapan anakku agar mampu merasakan hangatnya senyum
temannya yang mengetahui nya berbeda dengan yang lain dalam hal melalui hari di
ruang belajarnya. Harapan seperti bulu burung yang kuat tapi lembut, memberi
kekutan burung agar dapat terbang dan melindungi mereka tetap hangat dari
serangan musim terekstrim. Seperti bilah puisi yang terus terlantun tapa kata. Karenanya aku dapat merasakan kebahagiaan yang dirasakannya ketika memelukku
sambil mengucap terima kasih. Kujawab dengan senyum dan hati yang hangat. Terima
kasih kembali anakku sayang. Berjuanglah mengepakkan sayap-sayap syukur. Agar kau
mampu terbang melintasi semua keraguan yang tidak berarti.
For my precious Souls, SAMuRaI
Bumi Jogja, 27 Desember 2021