Minggu, 26 Desember 2021

Cerpen #1 Senyum Sang Pembawa Roti

 “Ayolah  mi, bolehlaah… “terawang mata mommy seraya melepaskan anak 3 anak panah pasopati di jantung Sytsh.  Mata berwarna coklat dan raut halus yang memelas tapi sedikit memaksa perlahan melepaskan tensinya. Setelah sejurus saling beradu mata untuk mencari sudut jawab dalam makna raut momminya, sytsh menundukan laras pandangnya kearah baju mamihnya yang seperti biasa tanda menyerah kalah lalu memilih menenggelamkan fokusnya pada gamis mommy yang berbunga-bunga kecil seperti biasa.  Sampai pada titik jenuh, sytsh mengambil nafas panjang dan menghela sebagai tanda mengakhiri pemohonan sedikit memaksanya akan satu hal: membawa uang saku.  Langkahnya gontai membawa luka harapan terputus infinitif. Roti ini tak membawa senyumnya. 

    Bukan dia tidak memiliki pundi sepeserpun. Hanya saja ketegasan mommy yang menyatakan tidak boleh membawa uang saku sekalipun uang sendiri selain hari sabtu sepertinya tidak dapat tergoyahkan. Pernah secara tidak terang dia menyembunyikan uangnya sendiri agar dia dapat membeli jajanan khas sekolah, akan tetapi malah ketahuan dan dia mendapatkan imbalan yang setimpal. Sytsh sendiri tak mau mencoba mengingat kembali berapa lama dia tidak diperbolehkan jajan. Padahal biasanya setiap sabtu-ahad dia selalu bisa membelanjakan snack kesukaan dengan jumlah yang besar yakni Rp10.000. Tapi Roti itu memudarkan senyumannya. 

    Kali ini Sytsh tak dapat melihat cela kesempatan untuk dapat sedikit melanggar peraturan tersebut dalam mata bening mommy-nya. Terlalu serem untuk dibayangkan. Laras matanya terpaksa rela  menatap saat mommy  memasukkan sekotak bekal berwarna biru, botol minum dan sekotak susu kemasan kedalam tas sekolahnya. Sekali lagi tak ada minat untuk membuka kotak itu. Tak juga berencana untuk membukanya ketika sampai di sekolah nanti. Self existensinya terluka oleh kotak bekal yang imut itu. Sekali lagi taka da minat untuk membuka kotak itu. Roti itu hanya seperti garam yang menambah perih luka ego eksistensinya dan membuatnya enggan tersenyum. 

    Bell favorit sytsh bordering. Seluruh siswa kelas satu menyeruak berhmaburan keluar kelas. Aroma kelegaan memenuhi atmosfir SD Sempu pagi itu. Ya,  bel istirahat. Akhir –akhir ini selama istirahat, Sytsh sangat tertarik terhadap buku-buku yang tersusun rapi di perpustakaan sederhana berukuran 3x3 meter di sekolah tersebut. Beberapa masa dia menjemput buku-buku yang menarik hatinya pulang ke sekolah. Rasa antusias membaca dan membahas isinya sambil di pangku Mommy selalu ingin diulangnya kembali. Rasa yang sama seperti saat menikmati es krim di musim kemarau. Tapi roti tetap hanya di tatapnya tanpa tersenyum. 

     Sebelum sampai di perpustakaan, sytsh menengok tempat pesolatan kecil tempat biasa dia dan pak Irfan, guru Bahasa inggrisnya untuk sholat duha bersama. Tak banyak yang dia paham tentang keutamaan sholat   duha. Tapi dia hapal kedua surat istimewa itu dan sedikit doa-doanya. Dia suka sholat bersama Pak Irfan dan kakak kelas. Dan Roti tersebut menyelinap keluar dari ruang pikirnya karena belum mampu membuatnya tersenyum. 

    Usai sholat bersama, masih ada waktu 15 menit untuk masuk ke perpuastakaan. Dia telah mempersiapkan catatan mengenai buku apa saja yang dia akan pinjam. Se referensif itu. Namun sejurus kemudian urunglah niatnya melangkah kan ke daun pintu ruang buku berwarna tersebut karena terasa olehnya rasa yang tidak benar dalam perutnya. Dia lapar.  Dia sangat mengenali rasa ini. Menyempatkan diri mengingat memori semalam, barulah teringat olehnya bahwa malam itu dia belum menyantap makan malam buatan mommy. Setengah hatinya menyesal karena melewatkan makan malam. Entah karena apa. Dia berharap itu adalah hal yang penting.Pandangannya selanjutnya tertuju pada tas sekolahnya.  Dia ingat bekal yang di bawakan mommynya. Perut dan hatinya langsung terhibur. Selanjutnya adalah unboxing yang di bawa oleh mommy.  Kali ini roti ini memiliki peluang untuk membuatnya tersenyum. 

    Hidup seolah bak bersandiwara di atas panggung teater yang terbakar. Kebutuhan eksistensinya yang terkoyak oleh bekal roti membawanya sementara pada kelemahan kepercayaan dirinya menghadapi bekal roti yang masih tersimpan rapi di dalam tas di dalam ruang kelas. Secara diam-diam dia masuk ke dalam kelas yang dia pastikan sepi dan membuka diam-diam bekal yang di bawakan mami. Ternyata roti isi saos bolognise dan mayonise. Tanpa pikir panjang dia melahap sepotong roti isi non-berisi tersebut. Walau tidak ada sosis di dalamnya, serangan rasa lapar membuat makanan sederhana itu tidak kehilangan pesonanya. Sebelum potongan terakhir, tanpa disadari kedua temannya telah mengintip nya. Rasa malu menguasai dirinya hingga tanpa disadari membuatnya memalingkan diri. Tapi temannya tak dapat menerima reflex tersebut. “bagi lah…” kode wajah memelas yang tidak tertolak. Akhirnya sampai pula roti isi tersebut di tangan teman tidak dekatnya. Tak disangka wajah sumringah temannya melihat potongan roti tersebut, wajah terheran-herannya melihat kekaguman temannya atas rasa baru membuat sytsh merindukan mommy nya. Setelah menyantap potongan pertamanya, temannya baru menyadari bahwa roti tersebut terasa begitu nikmat. Proses belajar di kelas terasa begitu lama bagi sytsh kali ini . Rasa rindu pada mommynya semakin dalam. Rasanya campur aduk. Bahagia karena ternyata temannya iri bahwa mommy nya membawakan bekal. Dia ingat benar temannya bilang “enak ya kamu, ummimu mbawakan bekal. Aku juga pengen di bawakan bekal bundaku” . menyesal karena selama ini menyia-nyiakan bekal yang di bawakan mommy. Rela melihat wajah mommy melepaskan hormone kortisol dalam rangka menahan rasa kecewa nya setiap kali membuka kotak bekal yang tidak dimakan. Ingin minta maaf pada mami dan mengucapkan salam terindah bernama terima kasih. Kali ini setulus-tulusnya.

    Wajah yang biasanya tertutup mendung karena malu membawa bekal ke sekolah menjadi cerah secerah pagi hari di musim semi. Tak kesah seberapa telat mommy menjemputnya. Segeralah ia menaiki kuda besi tersebut dengan penuh semangat. Dopamine yang mengudara membawa pesan-pesan kimiawi bahagia segera dikenali oleh mommy walau dalam jarak sejengkal. “sekolahnya senang hari  ini, Nak? ” selidik mommy. “senang mi..seneng banget”. Tanpa berbicara banyak, tak seperti biasanya dia memeluk mami dan menmbenamkan wajahnya di dalam kerudung mami yang berkibar tertiup angin. Mommy tidak pernah memakai pengharum apapun. Tapi hari ini harum cinta mommy sangat terasa di hati sytsh. Hangat yang melelehkan dan menguatkan hati sytsh yang lemah karena gengsi.  Usai mengganti seragam dan mencuci tangan. Mommy segera meghangatkan lauk kesukaannya:  Ikan goreng krispi. Sejenis alat pemancing cerita yang sering Mommy pakai agar anak anaknya membuka diri mereka. Bermenit  setelah mencium aroma fishy yang menggugah selera, dia segera menyambut nasi hangat dan ikan krispi mommy di meja makan. Seraya nyuguhkan air putih, mommy mencoba mendekatinya. “Ada yang bikin senang kah di sekolah?” tanya mommy penuh selidik. Sytsh  mengangguk dengan menyipitkan sudut matanya. Hatinya ingin menceritakan semua pada mommy.  Apalah daya perutnya tak mampu memberinya maaf. Setelah suapan terakhir dan beningnya air putih menyapu lantas semua sisa makanan dalam mulutnya. Dengan antusias ia mendeskripsikan bagaimana waktu sekolah berlalu hari ini dan bagaimana temannya terpukau oleh roti isi buatan mommy nya. “Mi, maaf ya. Bekalnya kemarin-kemrin ngga aku makan karena aku malu, temanku tidak membawa bekal sama sekali. Kebanyakan membawa uang jajan. Tapi aku sekarang teman-teman juga mau sama bekalku juga.  besok bawa lagi ya mi, roti isinya. ”.  senyum mommy penuh syuur mambawa butir-butir imu yang segera meghujani sytsh dan adiknya.  "Belum pernah aku berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwaku sendiri, yang terkadang membantuku, dan terkadang menentang ku." (al-Ghazali). Sytsh menyeruak. “Kata-kata siapa itu mi?” mommy berlalu ke dapur mencuci sisa piring yang kotor. Sambil tersenyum lembut mami menjawab, “al-Ghazali”.

 Selanjutnya Sang pembawa bekal tak lagi tersembunyi . hingga di saat olah raga tiba, sempatlah ia menjadi pahlawan yang membawa roti isi bagi dirinya dan teman-temannya. Existence lies before essence (Jean Paul). Aku pernah mendengar berita tentang ujung bumi bagian selatan yang terselimuti oleh air beku yang berwarna putih. Membayangkannya di terangi matahari yang hangat dan sedikit membuat lampiran-lampiran tanahnya berwarna kuning keemasan. Membawa harapan bagi para penghuni igloo untuk merasakan indah dan hangatnya sensasi musim semi. Ditemani makanan hangat yang menyapa kehampaan lambung mereka. Se-simple itu harapan anakku agar mampu merasakan hangatnya senyum temannya yang mengetahui nya berbeda dengan yang lain dalam hal melalui hari di ruang belajarnya. Harapan seperti bulu burung yang kuat tapi lembut, memberi kekutan burung agar dapat terbang dan melindungi mereka tetap hangat dari serangan musim terekstrim. Seperti bilah puisi yang terus terlantun tapa  kata. Karenanya aku dapat merasakan  kebahagiaan yang dirasakannya ketika memelukku sambil mengucap terima kasih. Kujawab dengan senyum dan hati yang hangat. Terima kasih kembali anakku sayang. Berjuanglah mengepakkan sayap-sayap syukur. Agar kau mampu terbang melintasi semua keraguan  yang tidak berarti.

For my precious Souls, SAMuRaI

Bumi Jogja, 27 Desember 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen #1 Senyum Sang Pembawa Roti

  “Ayolah   mi, bolehlaah… “terawang mata mommy seraya melepaskan anak 3 anak panah pasopati di jantung Sytsh.   Mata berwarna coklat dan ra...